potongan 2
by: TIA
“Kenapa harus seperti ini ya, Sha?” gumam Arya pelan, “andai semua berbeda.....”
Ia terdiam.... kemudian senyum tipis tersungging di bibirnya,”Tapi terima kasih, kau telah mengubah hidupku.”
Arya kembali menatap kotak misterius itu. Meraba tiap detail pahatan di kotak itu. Bagian atas kotak itu berukirkan gambar perpaduan bulan dan matahari. Di tepi kotak, terdapat tulisan-tulisan aneh, seperti hierogliph, tapi bukan hierogliph. Arya membalik kotak itu. Di dasar kotak, terukir gambar yang nuansanya sangat kontras dengan bagian atas kotak itu, sebuah gambar seperti muka Joker, si tokoh badut yang biasanya tergambar dalam kartu-kartu remi.
Arya tersenyum-senyum sendiri, “Sepertinya misteri ini semakin mendekati akhirnya. Semuanya semakin jelas sekarang. Aku harus mengatakan ini pada Vin.”
Kotak itu ia masukkan kantung mantelnya. Ia melirik mayat Keisha yang tergeletak di tepi ruangan itu. Akan ada orang yang membereskan mayatnya, pikir Arya.
“Maaf, Sha. Aku harus pergi. Jangan dendam karena aku sudah membunuhmu, ya. Tenanglah kau di akhirat sana, akan kuungkap misteri ini, dan identitas boss-mu itu. Bye...”
Ia keluar dari ruang tamu, menutup pintu depan perlahan, dan melihat ke sekeliling untuk memastikan keadaan aman. Dengan segera, ia melangkah meninggalkan rumah itu.
Arya mencegat taksi yang melaju ke arahnya. Taksi berhenti dan supir mempersilakannya masuk. Arya masuk ke dalam, “High Wall Apartemen, Pak”. Supir itu mengangguk dan segera saja taksi itu melaju, melintasi jalanan malam yang berbau busuk.
Arya terdiam sambil terus memegangi perutnya yang masih terasa perih, bola matanya menekuni gedung-gedung yang terus berlalu seiring laju taksi itu. Pikirannya melayang, berbagai peristiwa beberapa bulan ini berkelebat di otaknya. Ia teringat suatu malam di bulan Desember.
----------------------------
Arya saat itu adalah seorang Arya yang baru saja merampungkan studinya di sebuah perguruan tinggi di negeri ini. Ia pengangguran, masih kesana-kemari mencari pekerjaan. Malam itu, ia berjalan-jalan keluar apartemennya. Menikmati suasana malam sambil mencari ilham dan merenungi nasib, dalihnya.
“Kenapa malam ini sepi? Sesepi hidupku. Ah, andai saja ada hal yang bisa mengubah hidupku yang membosankan ini menjadi begitu menantang.”
Ya, doanya terkabul malam itu. Arya berjalan melintasi taman kota ketika tiba-tiba seorang wanita menabraknya. Mereka jatuh dan barang-barang yang dibawa wanita muda itu berserakan.
“Duh, hati-hati dong kalau jalan. Lihat kanan-kiri, lihat depan....”
Kata-kata Arya terhenti saat ia menatap wanita itu. Cantik (indo sepertinya), rambut hitamnya tergerai, tampak berkilauan disinari cahaya bulan malam itu, dan dari matanya, terpancar suatu tatapan penuh misteri. Hati Arya bergetar karenanya.
Wanita itu meminta maaf pada Arya, “Maaf, maaf.....Aku sedang terburu-buru. Tak melihatmu berjalan.” Dengan tergesa-gesa, wanita itu memberesi semua barangnya yang berserakan. Arya yang masih terpesona dengan kecantikannya, tersadar, lalu membantunya memberesi barang-barangnya.
“Itu dia!!” dari kejauhan sebuah suara terdengar.
Wanita itu terkejut dan panik, “Tolong, tolong!! Sembunyikan aku!! Kumohon! Akan kubayar berapapun yang kau mau!” wanita itu memohon pada Arya dengan muka memelas.
Mendengar kata bayaran dan juga melihat air muka wanita itu, Arya tak sanggup menolak dan dengan sigap ia mengiyakan, “Oke, aku akan membantumu. Tapi tolong berjanjilah padaku untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi!”
Wanita itu mengangguk tergesa, “Baik, baik. Akan kuceritakan semuanya. Tapi sekarang, ayo...!! Cepat, sembunyikan aku!”
“Ikuti aku!” kata Arya. Mereka berdua berlari keluar dari taman, terus berlari sepanjang jalan. Di belakang mereka, tiga orang lelaki berjas hitam mengejar, meneriakkan berbagai sumpah serapah kepada wanita itu. Beberapa kali gerombolan pengejar itu menembakkan peluru. Untungnya, tembakan itu meleset. Desingan peluru itu membuat Arya dan wanita itu mempercepat langkah mereka.
Di sebuah gang, yang penduduk setempat menyebutnya gang senggol, Arya menarik lengan wanita itu, “Sembunyi di sini dulu! Dan diam!” mereka berdua merapat di tembok, sambil mengatur napas mereka yang terengah-engah. Para pengejar berlalu, tak menyadari bahwa buronan mereka bersembunyi di gang senggol itu.
Arya melongok keluar gang. Aman, pikirnya, “Sepertinya aman.... Nah, tugasku selesai. Mana bayarannya??”
“Hah?? Yang benar saja?! Kau benar-benar minta bayaran???!” wanita itu terkejut mendengar kalimat Arya.
“Ya jelas dong, mana ada hal yang gratis di dunia ini. Lagipula tadi kau sudah berjanji akan membayarku!” sahut Arya tak kalah sewot.
Wanita itu tampak berpikir keras, alisnya bertaut,”Mmm...., baiklah, aku akan membayarmu, tapi tolong aku sekali lagi, bisakah kau benar-benar mencarikan tempat persembunyian untukku? Aku khawatir orang-orang itu masih akan mencariku lagi.”
Arya diam. Seperti yang biasa ia lakukan saat ia berpikir, mengelus-elus janggutnya yang tak berjenggot. Setelah hening beberapa saat, Arya menjawab, “Baiklah, aku akan membantumu. Kurasa aku tahu di mana tempat yang aman untuk bersembunyi dan kupikir kau akan nyaman di sana. Tapi...., untuk yang satu ini, kau harus mau keluar uang agak banyak. Setuju?”
“Baiklah...., apapun akan kulakukan asal nyawaku selamat!”
Arya mengerutkan keningnya, “Aku semakin butuh penjelasan darimu.... Ah, sudahlah, sekarang, ayo kita pergi!”
Arya berjalan keluar gang, menyusuri jalan malam yang sunyi dan seolah mengawasi langkah-langkah mereka. Si wanita muda berjalan di belakangnya, terseok-seok, tak dapat mengikuti langkah Arya yang begitu panjang. Mereka terus berjalan, melintasi blok demi blok di kota itu.
“Oh ya, aku lupa. Kita belum saling kenal. Namaku Arya. Siapa namamu?”
“Panggil saja aku Keisha,” jawab wanita bernama Keisha itu singkat.
Nama yang indah, kata Arya dalam hati, seindah orangnya.... Ah, apa-apaan aku ini. Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mempercepat langkahnya. Membuat Keisha berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkah Arya.
“Sebenarnya kita ini mau kemana? Apa masih jauh??” tanya Keisha sambil terengah-engah, ia lelah.
“Itu,” kata Arya sambil menunjuk deretan rumah-rumah di sepanjang jalan yang baru saja mereka masuki. Arya memperlambat langkahnya. Ia memandu Keisha menuju salah satu rumah di antara rumah-rumah di deretan itu. Sebenarnya, rumah itu biasa saja untuk ukuran manusia normal. Akan tetapi rumah itu tergolong mewah di antara rumah-rumah di situ.
Arya menaiki beranda depan, mengambil kunci di bawah keset, dan membuka pintu. Ia masuk ke dalam, menyalakan lampu dan berbalik ke arah Keisha, “Bagaimana? Puas?”
Keisha mengamati ruangan yang baru saja dimasukinya itu. Ruangan itu tampaknya baru saja direnovasi, jejak cat dan debu masih berserakan di sana-sini, perabotannya berserakan. Keisha menanggapi, “Lumayan. Rumah siapa ini?”
“Emm...., sebenarnya ini rumah orangtuaku. Mereka sudah meninggal. Dan aku sedang mencari orang yang mau mengontrak rumah ini. Jadi kalau kau mau, silakan tinggal di sini, tapi jangan lupa kalau kau mengontrak rumah ini. Hehehe....,” Arya tertawa iseng.
Keisha tersenyum simpul, “Oh, jadi itu maksudmu dengan membayar lebih mahal?! Oke, tak masalah bagiku.”
Setelah beberapa saat melihat-lihat keadaan rumah itu, mereka berdua duduk di dapur. Awalnya hening. Masing-masing sibuk dengan pikirannya, Keisha dengan rencana-rencananya untuk tempat persembunyiannya itu, dan Arya dengan kekagumannya terhadap Keisha. Ia berusaha menutupi perasaannya itu.
“Jadi, mana ceritamu?” tagih Arya pada Keisha.
Keisha menatap Arya cukup lama, yang membuat jantung Arya berdegup kencang. Keisha membetulkan posisi duduknya, “Benar kau mau dengar ceritaku?”
Arya mengangguk.
“Tapi.... kau harus mau terima resikonya. Setelah kau tahu semua ini, mau tak mau kau akan terlibat. Kau masih ingin mendengar ceritaku?”
“Huh, mana ada laki-laki yang menarik kata-katanya! Aku akan tetap mendengar ceritamu!”
“Baiklah. Akan kuceritakan semuanya....”
-------------------------------------------------
Arya tersadar dari lamunannya ketika supir taksi memberitahu bahwa ia telah sampai di tempat yang dimintanya. Ia segera turun setelah membayar ongkos taksi itu. Ia berdiri di depan High Wall Apartemen. Salah satu dari sekian banyak apartemen di kota metropolitan itu. Tidak tergolong mewah, tapi tempat itu murah dan agak jauh dari keramaian. Oleh karena itulah Arya lebih memilih untuk tinggal di situ daripada tinggal di rumah orangtuanya.
Ia melangkah masuk halaman apartemen, mendekati pintu apartemen sambil merapatkan mantelnya. Ia tak ingin satpam kompleks tahu ia terluka, bisa runyam masalahnya. Ia bergegas menaiki anakan tangga, sambil sesekali meringis menahan sakit di perutnya. Akhirnya sampai juga ia di lantai tiga. Ia mendekati pintu kamar apartemennya, 131. ketika Arya akan membuka kunci, ia menyadari sebuah kejanggalan. Pintu itu tidak tertutup. Padahal, saat ia pergi pagi buta tadi, ia yakin telah mengunci pintu itu. Ia menjadi curiga. Jangan-jangan orang-orang dari Perkumpulan itu telah mengetahui keberadaannya. Jantungnya berdegup tak keruan. Pikirannya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba ia teringat pada Vin yang berjanji untuk datang siang tadi. Bagaimana dengan Vin? Apakah ia tertangkap oleh mereka?? Atau jangan-jangan ia sudah dibunuh?? Arya membuka pintu kamar apartemen perlahan. Bersiap menghadapi segala kemungkinan terburuk.
“Krieeet......”
__Bersambung__