by: Neti_^
Jantung Arya berdegup lebih cepat. Iramanya tak lagi beraturan. Tak sabar ia ingin mengetahui perkembangannya saat ini. Apakah memang serumit yang Keisha ceritakan beberapa bulan lalu?
Namun, harapan Arya untuk segera bertemu Vin harus menguap begitu saja ketika sosok yang berjalan mendekatinya ternyata membelok di tikungan sebelum cafe. Rupanya hanya orang lain dengan style menyerupai Vin. Arya mendengus, tak dapat menyembunyikan kecewanya. Walaupun demikian, pandangan lelaki itu tetap terpaku pada Green Wales Street, satu-satunya link yang menghubungkan Humhall Cafe dengan jalan induk. Cafe itu sendiri terletak di ujung gang, agak menepi dari keramaian metro. Bangunannya bergaya khas Eropa kuno dengan pilar dan atap yang tinggi. Tetapi, begitu melangkah ke dalam cafe, sentuhan Asia Timur terasa begitu kental di dalamnya. Perpaduan dua peradaban itu menghasilkan kemegahan yang sulit dideskripsikan, menjadikan Humhall Cafe sebagai tempat pilihan bagi para eksekutif kelas atas. Tak heran Arya melihat banyak orang penting di dalamnya.
Tiga puluh menit dari waktu perjanjiannya dengan Vin telah terlewati. Keindahan Humhall Cafe tak lagi dapat menarik perhatian Arya. Terjebak dalam kebosanan, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari mantel hijau toska yang sedari tadi hanya disampirkannya di lengan kiri. Lagi, ditekuninya kotak misterius itu dengan seksama. Untuk kesekian kali, hawa dingin seolah menyergap Arya begitu saja ketika matanya membentur kotak itu; kotak yang hingga detik ini telah beberapa kali mengancam keselamatannya. Kotak yang telah menyeretnya ke dalam arus berbahaya dengan bermuara entah di mana.
Namun seperti sugesti, Arya tak pernah jemu meneliti detail benda itu. Rasa ingin tahunya justru kian membuncah di antara kebekuan dan kengeriannya.
“Indah...!” lirihnya, “Namun berbau ketamakan dan kematian....”
Arya yakin betul sesuatu di dalam kotak itu adalah jawaban untuk semua tanya di hatinya. Ia yakin ada cara untuk membuka kotak itu. Hanya saja ia belum mengetahuinya. Atau kalau dugaannya tepat, komplotan Black Pearl Shadow pun belum mengetahuinya. Ya, Black Pearl Shadow, komplotan di mana Keisha telah mengabdi selama bertahun-tahun dengan setia.
Keributan di mulut Green Wales Street telah mengalihkan perhatian Arya. Tidak, bukan keributan itu yang menariknya. Sesosok perempuan dengan mantel gelap keluar dari minimarket. Langkahnya bergegas menuju ke gang yang lebih sempit. Arya mengenali wajah itu!
Hampir saja ia melangkah ketika sebuah suara alto menahannya, “Mau kemana?”
Tanpa Arya sadari, orang yang telah satu jam dinantinya kini telah datang.
“Black Pearl Shadow telah lama mengintai kamar apartemenmu,” kata Vin. Sorot matanya tak beralih dari cangkir di tangannya.
Arya terdiam, menunggu lanjutan perkataan Vin. Dan benar saja, tak berapa lama kemudian Vin kembali berbicara.
“Puncaknya kemarin, saat aku melaju ke apartemenmu. Mereka membuntuti mobilku,” Vin menghela nafas sejenak, “Sejak awal aku tak suka berurusan dengan kotak berbahaya itu. Jadi kuputuskan untuk bersembunyi dari keramaian, menginap di rumah orang tuaku,” tutup Vin. Kini, ia sibuk dengan muffin kejunya.
Arya menghela nafas, bersyukur sahabatnya ternyata tak tertangkap dan pikiran-pikiran buruknya bukanlah kenyataan.
“Lalu kamar apartemenku? Lambang-lambang ganjil itu? Bom cluster? Dan... tulisan di dinding kamar itu? Apakah kau tahu sesuatu tentangnya?”
Gadis itu mengangkat wajahnya, kini mata cokelat Vin bertemu pandang dengan mata Arya. Ada keganjilan meresap di hati Arya. Namun, perasaan itu langsung hilang tertelan kekalutan yang menyelimuti mereka.
“Mungkin mereka yang melakukannya, setelah berhasil membuntutiku.”
Keheningan kini merambati percakapan Vin dan Arya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Rumahmu dan High Wall Apartement tak lagi aman,” Vin memecah kebekuan di antara mereka.
“Ya...aku sedang memikirkan akan tinggal di mana untuk sementara waktu.”
“Aku tahu tempat yang tepat bagi kita,” Vin tersenyum, licik. Tapi senyum itu tak sempat tertangkap oleh mata Arya yang menerawang jauh. Dia menurut saja ketika Vin membimbingnya keluar cafe.
Mereka kini telah berada di sebuah rumah di pinggir kota. Menurut penuturan Vin, itu rumah pemberian orang tuanya yang malas ia tinggali. Terlalu kecil, dalilnya. Rumah itu sederhana saja. Bergaya minimalis dan praktis dengan sebuah kolam kecil yang telah lama kering akibat tak diurus. Bunga-bunga liar tumbuh tak beraturan di sekitarnya, menyembul di antara semak dan rumput yang meninggi.
Selama di perjalanan tadi, Arya menceritakan segalanya kepada Vin. Tentang Keisha dan ancaman ayahnya, tentang sandi-sandi dan simbol-simbol di apartemennya, tentang kotak misterius itu, hingga tentang kecurigaannya. Sesekali, Arya menangkap sesuatu yang berbeda pada diri Vin, begitu pikir Arya.
“Kau tahu benda seperti apa yang kira-kira bisa membuat kotak itu terbuka?” tanya Vin pada suatu pagi. Ia tengah menyiapkan dua potong sandwich untuk sarapan.
“Entahlah... sama sekali tak ada bayangan,” Arya menyahut. Tangannya menerima piring dan gelas yang diangsurkan Vin.
Tanpa Vin sadari, Aya memperhatikan gerak-gerik gadis itu. Ada yang ingin terucap dari mulutnya, tapi tertahan. Untuk mengalihkan perhatian, ditujukannya kedua matanya ke jalan raya. Sedari tadi ada sebuah mobil yang terparkir lama di seberang. Dan ada sesosok wajah di balik jendela mobil hitam metalik itu. Wajah perempuan yang sama dengan yang ia lihat di minimarket Green Wales Street. Ia hampir saja mengatakan kecurigaannya kepada Vin saat Vin berucap, “Ada apa?”
“Sepertinya aku mengenali wajah seseorang di balik mobil itu,” Arya menunjuk dengan matanya.
“Ah...eh...kau yakin? Mungkin saja kau salah mengenali orang!” tak disangka-sangka, Vin sedikit membentak. Nada cemas dan ketakutan terdengar jelas pada kata-katanya.
Arya memandang Vin tajam. Mencari sesuatu yang ia belum tahu di balik wajah cemas itu. Yang dipandang menjadi salah tingkah. Dengan buru-buru, ia menjejalkan sepotong sandwich ke mulutnya, mencoba menutupi kekagetan yang begitu tiba-tiba.
“Vin?” panggil Arya. Keheranan terlukis begitu nyata di wajahnya, “Sejak kapan kau kidal?!”